Beranda | Artikel
Seandainya Kalian Tahu Dosa-Dosaku
Rabu, 16 Juni 2010

Wasiat Abdullah bin Mas’ud [1]

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alusy Syaikh hafizhahullah

Termasuk kekurangan yang menimpa kaum muslimin sekarang ini mereka mengerti perkataan-perkataan orang-orang sekarang atau orang-orang yang sezaman dengan mereka dan mereka lalai memperhatikan dan mengenal serta menelaah perkataan-perkataan As-Salafus Soleh padahal perkataan para salaf sedikit namun faedahnya banyak.

Adapun perkataan kholaf (orang-orang terbelakang) banyak namun faedahnya sedikit sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Rojab Abdurrohman bin Ahmad Al-Hanbali –rohimahullah- dalam kitabnya yang agung فضل علم السلف على علم الخلف “Keutamaan ilmu salaf di atas ilmu kholaf”. Dan landasan hal ini adalah bahwasanya para salaf jika mereka berbicara dalam pembicaraan-pembicaraan mereka, mereka meneladani hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perkataan-perkataannya ringkas dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dianugrahi jawami’ul kalim yaitu perkataan-perkataan yang ringkas namun mengandung makna yang sangat luas. Maka engkau dapati para sahabat perkataan-perkataan mereka, wasiat-wasiat mereka, tulisan-tulisan mereka, risalah-risalah mereka yang mereka ungkapkan tatkala saling menasehati diantara mereka kita dapati ungkapan-ungkapan tersebut sedikit kata-katanya dan sedikit hurufnya namun barangsiapa yang mentadabburinya maka ia akan mendapati keajaiban-keajaiban pada setiap kalimat berupa makna yang luas, banyak, dan kokoh.


Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertingkat-tingkat, diantara mereka adalah kaum Muhajirin yang mereka masuk Islam terlebih dahulu di Mekah[1]. Dan diantara kaum muhajirin tersebut adalah orang yang dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang membawakan kedua sandal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta yang membawakan air untuk bersuci bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali yang wafat pada tahun 32 H[2].

Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Ummi ‘Abd sebagaimana demikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau termasuk para sahabat yang masuk Islam di Mekah[3] dan beliau menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak di Mekah dan mendengar Al-Qur’an sejak tatkala pertama kali turun[4]. Beliau hafal Al-Qur’an, hingga ia pernah berkata,

والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه

((Demi Dzat yang tidak ada sesembahan selainNya tidaklah turun surat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu dimana turunnya dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu  pada perkara apa turunnya kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang ia bisa ditemui dengan unta maka aku akan naik unta menemuinya)) [5]

Dan beliau menghapal Al-Qur’an dan merupakan sahabat yang paling pandai baca Al-Qur’an[6], dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentangnya

من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد

“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ahnya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud)” [7]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah suatu kali berkata  ((Wahai Abdullah bacalah Al-Qur’an kepadaku!)), Ibnu Mas’udpun berkata, “Apakah aku membaca kepadamu padahal Al-Qur’an diturunkan kepadamu?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ((Aku senang untuk mendengar Al-Qur’an dari selainku)). Maka Ibnu Mas’udpun membaca dari awal surat An-Nisaa’ hingga beliau membaca firman Allah

﴿فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا(41)يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوْا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمْ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا﴾[النساء:41-42]

Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu. Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun.
(QS. 4:41-42)

Maka Nabipun berkata, حسبك ((Cukup)). Ibnu Mas’ud berkata, “Maka akupun melihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata kedua matanya meneteskan air mata”[8]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan umatnya untuk meneladani Ibnu Mas’ud sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim, dan yang lainnya bahwasanya beliau bersabda, تمسكوا بعهد ابن أم عبد ((Berpeganglah dengan wasiat Ibnu Mas’ud)) [9], yaitu jika beliau berwasiat kepada kalian maka berpegangteguhlah dengan wasiat tersebut.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang shahih, رضيت لأمتي ما رضي لها ابن أم عبد ((Aku ridho bagi umatku apa yang diridhoi oleh Ibnu Mas’ud bagi umatku)) [10]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang shahih, قد رضيت لكم ما رضي لكم ابن أم عبد ((Aku sungguh telah ridho bagi kalian apa yang telah diridhoi oleh Ibnu Mas’ud bagi kalian)) [11]

Oleh karena itu Ibnu Mas’ud adalah ahli wasiat dan ia memberi wasiat. Dan wasiat-wasiat beliau –sebagaimana telah lalu- menggabungkan antara kalimat-kalimat yang ringkas namun maknanya luas, dan akan tiba apa yang menunjukan hal itu.

Beliau adalah orang yang wara’, khusyu’, dan selalu mentadabburi Al-Qur’an serta mengamalkannya, juga memerintahkan dan melarang dengan Al-Qur’an. Beliaulah yang telah berkata,

إذا سمعت ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾ فأرعها سمعك، فإنها خير تؤمر به، أو شر تنهى عنه

“Jika engkau mendengar firman Alllah ((Wahai orang-orang yang beriman)) maka pasanglah telingamu karena akan datang ayat kebaikan yang engkau diperintahkan untuk melaksanakannya atau kejelekan yang engkau dilarang darinya” [12]

Beliau juga yang telah berwasiat, ينبغي لصاحب القرآن أن يعرف بليله إذا الناس نائمون، وبنهاره إذا الناس مفترون “Hendaknya bagi penghafal Al-Qur’an untuk mengenal malamnya tatkala manusia dalam keadaan tidur (yaitu hendaknya sholat malam) dan mengenal siangnya (yaitu dengan berpuasa) tatkala manusia sedang berbuka” [13]

Beliau juga yang telah berwasiat tentang Al-Qur’an, لا تنثروه نثر الدقل، ولا تهزوه هز الشعر، قفوا عند عجائبه، وحركوا به القلوب “Janganlah kalian membacanya dengan cepat (tanpa mentadabburi maknanya) sebagaimana dibuangnya ad-daql (korma yang jelak yang dibuang bertaburan[14]), dan janganlah menandungkannya seperti senandung sya’ir, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya dan gerakkanlah hati” [15]

Beliau memliki sahabat (murid-murid) dan beliau memberi wasiat-wasiat kepada mereka yang dijaga hingga sampai kepada kita wasiat-wasiat tersebut. Dan para sahabatnya sesuai dengan keadaan beliau, mereka berjalan di atas langkahnya dan mengambil petunjuk-petunjuk beliau. Beliau adalah orang yang tingkah laku beliau, sifat-sifat beliau yang paling mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu beliau adalah orang yang paling semangat di atas sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh karena itu beliau adalah orang yang paling serupa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wasiat Pertama

Ibnu Mas’ud memiliki sahabat (murid-murid), dan demikianlah seorang alim yang berdakwah maka pasti manusia akan terpengaruh dengannya. Meskipun demikian beliau adalah suri tauladan hingga dalam kepemimpinannya dan persahabatannya. Suatu kali ia melihat para sahabatnya (murid-muridnya) mengikutinya dibelakangnya, ia melihat jumlah mereka yang banyak  maka beliaupun mengatakan kepada mereka wasiat beliau dan ia adalah wasiat yang pertama dari wasiat-wasiat beliau yang akan kita tadabburi.

Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:

لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره
.

((Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran)).Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya[16]

Ia berkata kepada para sahabatnya ((Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orang yang berjalan di belakangku)), dalam riwayat yang lain ((Jika kalian mengetahui dosa-dosaku –kemudian beliau bersumpah dan berkata- Demi Allah yang tidak ada sesembahan selainNya kalau kalian tahu maka sungguh kalian akan menaburkan tanah di atas kepalaku))

Wasiat ini tidak diragukan lagi merupakan pelajaran karena ketenaran dikalangan manusia sangat mungkin terjadi jika seseorang memiliki sesuatu yang membedakannya dikalangan manusia, bisa jadi mereka akan mengagungkannya, bisa jadi mereka akan memujinya, bisa jadi mereka berjalan di belakangnya. Dan seseorang jika bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan menggetahui bahwa dosanya sangatlah banyak[17]. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –dan ia adalah orang yang terbaik dari umat ini dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[18]- yaitu As-Siddiq yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentangnya لو وزن إيمان أبي بكر بإيمان الأمة لرجح إيمان أبي بكر  ((Kalau ditimbang imannya Abu Bakar dengan imannya umat maka akan lebih berat imannya Abu Bakar)) [19], Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya agar berdoa di akhir sholat dengan doa, maka ia berkata dalam doa tersebut

ربي إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا ولا يغفر الذنوب إلا أنت

((Ya Allah sesungguhnya aku telah mendzolimi diriki sendiri dengan kedzoliman yang banyak dan tidak ada yang mengampuniku keculai Eangkau))

Yang berwasiat adalah Nabi r dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq

ربي إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا ولا يغفر الذنوب إلا أنت فاغفر لي مغفرة من عندك

((Ya Allah sesungguhnya aku telah mendzolimi diriki sendiri dengan kedzoliman yang banyak dan tidak ada yang mengampuniku keculai Eangkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan dariMu)) [20]

Semakin bertambah ma’rifah seseorang kepada Robnya maka ia akan semakin takut kepada Allah dan akan semakin takut ada dua orang berjalan di belakangnya, takut ia akan diagungkan diantara manusia, takut ia diangkat-angkat dikalangan manusia karena ia mengetahui dari Allah dan dari hak-hak Allah apa yang membuatnya yakin bahwasanya ia tidak akan mencapai derajat bisa memenuhi hak-hak Allah. Ia akan kurang dalam bersyukur kepada Allah dan itu merupakan salah satu bentuk dari dosa-dosa

Ibnu Mas’ud berkata ((Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orang yang berjalan di belakangku))

Orang-orang tersohor, diantaranya orang yang pandai membaca Al-Qur’an, ia terkenal dengan indahnya bacaannya, indahnya suaranya maka orang-orangpun berkumpul kepadanya.

Diantara mereka adalah orang alim yang terkenal dengan ilmunya, tersohor dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, waro’nya. [21].

Diantaranya da’i yang tersohor dengan perjuangannya dalam berdakwah kepada manusia sehingga manusiapun berkumpul disekitarnya karena dengan sebabnya Allah telah memberi petunjuk kepada mereka kepada kebenaran.

Diantaranya ada yang terohor dengan sifat amanahnya

Dan tersohor orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan demikianlah….

Ketenaran merupakan hal yang sangat mudah menggelincirkan orang oleh karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya dimana ia menjelaskan dalam wasiatnya tersebut tentang keadaan dirinya, ia menjelaskan bahwasanya apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang memiliki pengikut, maka ia berkata, “Jika kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan menaburkan tanah di atas kepalaku”

Maka orang yang memiliki popularitas atau termasuk orang-orang yang terpandang di masyarakat hendaknya ia selalu merendahkan dirinya dihadapan masyarakat, ia menampakan rendahnya dirinya di hadapan mereka bukan agar terangkat derajatnya di antara mereka akan tetapi agar terangkat derajatnya di sisi Allah, dan hal ini kembali pada permasalahan ikhlas. Karena diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia agar ia terkenal diantara mereka, dan ini merupakan perangkap syaitan. Di antara mereka ada yang merendahkan dirnya di hadapan manusia dan Allah mengetahui apa yang terdapat dalam hatinya bahwasanya ia benar dalam hal itu, ia takut pertemuan dengan Allah, takut hari dimana akan di balas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada pada hari dimana apa yang ada di hati akan nampak dan tidak ada sesuatupun yang bisa bersembunyi dari Allah dan mereka tidak bisa menyembunyikan dari Allah satu kejadianpun.

Ini merupakan pelajaran yang mesti diperhatikan oleh masing-masing dari yang diikuti dan mengikuti. Adapun yang mengikuti maka ia sadar bahwasanya orang yang ia ikuti wajib untuk tidak diagungkan akan tetapi diambil faedah darinya dari apa yang ia sampaikan dari Allah atau dari perkara-perkara yang bermanfaat bagi manusia. Adapun pengagungan maka hanyalah hak Allah kemudian hak Rasulullah, adapun manusia yang lain maka jika mereka baik maka mereka berhak untuk dicintai dalam diri.

Dan hendaknya orang yang tersohor agar senantiasa takut kepada Allah, merasa rendah dihadapan Allah dan selalu mengingat dosa-dosanya, selalu mengingat ia akan berdiri dihadapan Allah, selalu mengingat bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak untuk diikuti oleh dua orang yang berjalan di belakangnya. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar As-Shiddiq dipuji dihadapan manusia lalu ia berkhutbah setelah itu, telah shahih darinya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata, “Ya Allah jadikanlah aku” –ia mengucapkannya dengan keras- ia berkata,

اللهم اجعلني خيرا مما يظنون، واغفر لي ما لا يعلمون

“Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari yang mereka sangkakan dan ampunilah aku dari apa-apa yang mereka tidak ketahui” [22]

Beliau mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa-dosa hingga manusia tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah ini sebagaimana yang kita lihat kondisi sekarang ini dimana orang yang diagungkan semakin bertambah pengagungan terhadap dirinya sendiri dan orang-orang yang mengikutinyapun semakin mengagungkannya, ini bukanlah petunjuk para sahabat. Umar terkadang ia ta’jub dengan dirinya sendiri dan ia –tatkala- itu adalah seorang kholifah dan ia adalah orang kedua yang dikabarkan masuk surga setelah Abu Bakar, maka iapun memikul sesuatu di pasar maka diapun merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa besar (dan ujub) dengan dirinya.

Dan diantara pintu-pintu dosa adalah perasaan ujub dan merasa besar yaitu seseorang melihat dirinya hebat. Diantara salafus soleh ada yang jika dia hendak menyampaikan muhadhoroh dan ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan mereka. Kenapa??, karena kebaikan dirinya lebih wajib ia selamatkan daripada kebaikan orang-orang. Tatkala ia melihat kumpulan yang banyak dan ia melihat dirinya mulai senang jika mereka berkumpul banyak, mereka diam memperhatikan, mereka melakukan demikian dan demikian, mereka menyambutnya maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun mengatakan tentangnya apa yang mereka katakana. Namun yang paling penting adalah keselamatan hatinya antara ia dan Robnya, dan keselamatan (kebaikan) hatimu lebih penting daripada keselamatan hati orang lain, maka hendaknya tatkala itu perjuangan melawan nafsu dalam keadaan seperti ini.

Jika demikian maka ini adalah wasiat dari Ibnu Mas’ud dimana ia berkata, “Demi Dzat yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Ia  seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka kalian akan menaburkan tanah di atas kepalaku”

Dan kami berharap wasiat ini selalu diingat oleh setiap yang memiliki suatu ketenaran di antara manusia, baik ia seorang pengajar , atau seorang alim, atau seorang pembaca Al-Qur’an, atau pemegang tanggung jawab dalam suatu urusan tertentu, atau seorang amir (pemimpin/penguasa), atau seorang raja, dan seterusnya dari golongan-golongan manusia, hedaknya ia merasa rendah dengan dirinya hingga ia tidak besar hatinya maka ia akan merugi di dunia dan akhirat. Ini adalah wasiat dan ia merupakan wasiat yang sangat dalam yang mengandung makna yang banyak, dan pada apa yang kami sebutkan di sini hanyalah isyarat-isyarat, dan dibalik isyarat-isyarat ini ada ungkapan-ungkapan, dan perhatikanlah maka engkau akan mendapatkan hal itu.

Bersambung…..

Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh Firanda Andirja dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh

Artikel www.firanda.com

Catatan Kaki

—————
[1] Dan beliau adalah termasuk para sahabat yang berhijroh dua kali (hijroh ke negeri Habasyah dan hijroh ke Madinah). Beliau ikut perang Badar dan beliaulah yang telah membunuh Abu Jahl setelah dijatauhkan oleh dua putra ‘Afro’. Beliau juga ikut perang-perang yang lain (Al-Bidayah wan Nihayah 7/162)

Beliau bertubuh ramping (ringan) namun di sisi Allah sangatlah berat nilainya.

Dari Abdullah bin Mas’ud,

أنه كان يجني سواكا من الآراك وكان دقيق الساقين فجعلت الريح تكفؤه فضحك القوم منه فقال صلى الله عليه وسلم : ” مم تضحكون ” قالوا : يا نبي الله من دقة ساقيه فقال : ” والذي نفسي بيده لهما أثقل في الميزان من أحد

Bahwasanya beliau sedang mengambil siwak dari pohon arok dan  kedua betis beliau kurus maka (tiupan) anginpun menjadikan tubuh beliau bergoyang. Orang-orangpun tertawa. Rasulullah r pun berkata, “Kenapa kalian tertawa?”, mereka berkata, “Wahai Nabi Allah, karena kedua betisnya yang kurus (sehingga ia tergoyang karena tertiup angin-pen)”. Nabi r berkata, ((Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya sungguh kedua betis itu lebih berat di timbangan daripada gunung Uhud))[1]

HR Ahmad 1/420 no 3991, Abu Ya’la 9/209 no 5310 dan 9/247 no 5365, dan At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/78 no 8452. Lihat juga Majma’ Az-Zawaid 9/289. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani, lihat As-Shahihah jilid 7 no 3192

[2] Yaitu di Madinah pada masa khilafah Utsman bin ‘Affan dan umur beliau tatkala meninggal adalah 63 tahun (Al-Bidayah wan Nihayah 5/337).

[3] Kisah awal pertemuan beliau dengan Nabi r adalah sebagai berikut

Ibnu Mas’ud berkata, “Tatkala aku masih remaja aku menggembala kambing-kambing milik Uqbah bin Abi Ma’ith Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar datang kepadaku. Mereka berdua lari dari kejaran oarng-orang musyrik. Lalu mereka berdua berkata, “Wahai pemuda, apakah engkau memiliki susu yang kau berikan kepada kami untuk kami minum?”, aku (Ibnu Mas’ud) berkata, “Aku dipercaya, aku tidak bisa memberikan minum kepada kalian berdua”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah padamu seekor Jadz’ah[3] yang belum dikawini oleh kambing jantan?”, aku berkata, “Ada”, lalu akupun membawa seekor jadz’ah kepada mereka berdua lalu Nabi rpun meletakan kaki kambing tersebut diantara betis dan paha beliau lalu beliau mengusap tetek kambing tersebut dan beliau berdoa maka tetek kambing tersebutpun menjadi mengembang (panuh berisi susu). Lalu Abu Bakarpun mendatangi beliau dengan membawa sebuah batu yang berlubang (seperti lubang mangkuk-pen) maka Nabi rpun memerah susu kambing tersebut dan beliau meletakan susu hasil perahan pada batu itu. Lalu beliau meminum susu perahan tersebut dan demikian juga Abu Bakar lalu akupun (Ibnu Mas’ud) ikut meminum susu tersebut. Kemudian Nabi r berkata kepada tetek kambing tersebut, “Mengempeslah”, maka payudara kambing tersebutpun mengempes. Lalu akupun mendatangi Nabi r setelah itu lalu aku katakan kepadanya, “Ajarilah aku dari perkataan ini”, beliau berkata, “Sesungguhnya engkau adalah pemuda yang bisa diajari”. Lalu aku mengambil (mendengarkan dan menghafal) langsung dari mulut beliau tujuh puluh surat (dari Al-Qur’an) yang tidak ada seorangpun yang menyamaiku pada tujuh puluh surat tersebut”

HR Ahmad 1/462. Syaikh Al-Albani berkata, “Dan isnadnya hasan” (Shahih As-Siroh An-Nabawiyah hal 124), At-Toyalisi 1/47 no 353

[4] Bahkan beliau adalah sahabat yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan jahr (keras) hingga didengar oleh orang-orang kafir Quraisy.

Ibnu Ishaq berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Yahya bin Urwah bin Az-Zubair  dari ayahnya berkata, “Yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan keras –setelah Rasulullah r- di Mekah adalah Abdullah bin Mas’ud. Pada suatu hari para sahabat Nabi r berkumpul  lalu mereka berkata, “Demi Allah kaum Quraisy sama sekali belum mendengar Al-Qur’an dibaca dengan keras, siapakah yang memperdengarkan Al-Qur’an pada mereka?”. Ibnu Mas’udpun berkata, “Aku”, mereka berkata, “Kami kawatir mereka melakukan sesuatu atas dirimu, yang kami inginkan adalah seseorang yang memiliki kabilah yang bisa menjaganya jika mereka (kaum Quraisy) ingin berbuat jelek kepadanya”. Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkanlah aku (memperdengarkan Al-Qur’an kepada mereka), sesungguhnya Allah akan menjagaku”. Maka Ibnu Mas’udpun beranjak hingga sampai pada maqom (Ibrahim) pada waktu dhuha dan saat itu kaum Quraisy sedang berada di tempat perkumpulan mereka. Lalu Ibnu Mas’udpun berdiri di atas maqom kemudian membaca firman Allah –sambil mengangkat suara beliau-

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ  الرَّحْمن عَلَّمَ الْقُرْآنَ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Rabb) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al-Qur’an. (QS. 55:1-2)

Kemudian beliau menghadap ke arah tempat pertemuan mereka dan membaca firman Allah tersebut. Merekapun memperhatikan bacaan Ibnu Mas’ud lalu mereka berkata, “Apakah yang telah dikatakan oleh Ibnu Ummi Abd?”. Kemudian mereka berkata, “Sesungguhnya ia sedang membaca sebagian apa yang dibawa oleh Muhammad”. Lalu merekapun berdiri menuju beliau dan  merekapun memukul wajah beliau namun beliau terus membaca hingga semampu beliau. Lalu beliau kembali menuju para sahabat dan mereka telah memberikan bekas (pukulan) di wajah beliau. Para sahabat berkata, “Inilah yang kami kawatirkan menimpamu”. Beliau berkata, “Sekarang tidak ada musuh-musuh Allah yang lebih ringan bagiku daripada mereka, jika kalian mau maka aku akan melakukan hal yang sama besok”. Para sahabat berkata, “Tidak, sudah cukup, engkau telah memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka benci” (Siroh Ibnu Hisyam hal 221, berkata Muhaqqiqnya, “Sanadnya shahih dan bersambung”)

[5] HR Al-Bukhari 4/1912 no 4716

[6] Sebagaimana dalam HR Al-Bukhari 4/1912 no 4714, dari Syaqiq bin Salamah berkata, “Abdullah bin Mas’ud berkhotbah kepada kami maka ia berkata,

والله لقد أخذت من في رسول الله  صلى الله عليه وسلم  بضعا وسبعين سورة والله لقد علم أصحاب النبي  صلى الله عليه وسلم  أني من أعلمهم بكتاب الله وما أنا بخيرهم

((Demi Allah aku telah mengambil dari mulut Rasulullah r tujuh puluh lebih surat, demi Allah para sahabat Nabi r telah mengetahui bahwasanya aku termasuk orang yang paling paham tentang Al-Qur’an diantara mereka dan aku bukanlah yang terbaik diantara mereka)).

Syaqiq berkata, فجلست في الحلق أسمع ما يقولون فما سمعت رادا يقول غير ذلك “Akupun duduk di halaqoh-halaqoh untuk mendengarkan apa yang mereka katakana, maka aku tidak mendengar ada seorangpun yang membantah hal itu yang berkata selain perkataan Ibnu Mas’ud”

[7]Dan hadits ini termasuk yang paling menunjukan akan keimaman beliau dalam ilmu Al-Qur’an. Kisah selengkapnya adalah sebagai berikut

Dari Qois bin Marwan bahwasanya ia menemui Umar dan berkata, “Aku datang kepada engkau wahai pemimim kaum muslimin dari Kufah. Aku meninggalkan di sana (di Kufah) seseorang yang menulis mushaf dari hafalannya”. Maka Umarpun marah dan berkata, “Siapakah dia?”, Qois berkata, “Abdullah bin Mas’ud”. Maka Umarpun tenang dan berkurang kemarahannya hingga kembali ke keadaannya semula kemudian ia berkata, “Demi Allah aku tidak mengetahui seorangpun yang masih hidup yang lebih berhak dari Ibnu Mas’ud pada sifat itu. Aku akan menyampaikan hal ini kepadamu. Nabi r sering bergadang di rumah Abu Bakar karena urusan yang berkaitan dengan kaum muslimin. Suatu saat Nabi r bergadang di rumah Abu Bakar dan akupun ikut bergadang. Lalu Rasulullah r keluar dan kamipun ikut keluar bersamanya, tiba-tiba ada seseorang yang sholat di mesjid. Maka Rasulullah rpun menyimak bacaan orang tersebut. Dan tatkala kami hampir mengetahui orang tersebut maka Rasulullah r berkata,

من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد

“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ahnya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu Ibnu Mas’ud)”

Kemudian orang itupun (yaitu Ibnu Mas’ud) duduk dan berdoa, maka Rasulullah r berkata, “Mintalah maka Allah akan mengabulkannya, mintalah maka Allah akan mengabulkannya”. Umar berkata, “Maka akupun berkata (dalam hatiku) demi Allah besok aku akan pergi menemuinya untuk memberinya kabar gembira ini. Lalu akupun pergi menemuinya dan aku mendapati Abu Bakar telah mendahuluiku, maka Abu Bakarpun memberinya kabar gembira. Demi Allah aku tidak pernah berlomba dengan Abu Bakar untuk melakukan kebaikan apapun kecuali ia selalu mendahuluiku”  (HR Ahmad 1/7, 1/25, Ibnu Majah 1/49 no 138, 1/454, Al-Hakim 2/246 no 2893, 2/247 no 2895, Ibnu Khuzaimah 2/186 no 1156, An- Nasai (Al-Kubro) 5/71 no 8255, Al-Baihaqi 1/452 no 1968. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 5/379 no 2301)

[8] HR Al-Bukhari 4/1673 no 4306, 4/1925 no 4763, 4/1927 no 4768, Muslim 1/551 no 800

[9] HR At-Thirmidzi 5/609, 5/627, Al-Hakim 3/79 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 3/233 no 1233.

[10] HR Al-Hakim 3/359 no 5387, Ibnu Abi Syaibah 6/384 no 32231, At-Thobroni dalam Al-Awshoth 7/70 no 6879 dan Al-Kabir 9/80 no 8458, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 3/225 no 1225

[11] Al-Hakim 3/360 no 5394

[12] Atsar riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/130

[13] Atsar riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/130

[14] Tamr yang jelek (kering) tidaklah saling melengket antara satu dengan yang lainnya sehingga jika di buang maka akan keluar bertebaran dengan cepat dan saling terpisah bertebaran (Goribul Hadits karya Ibnu Qutaibah 2/254)

[15] Musonnaf Ibni Abi Syaibah 2/256 no 8733, Al-Baihaqi di As-Syu’ab 2/360 no 2041

[16] Al-Mustadrok 3/357 no 5382. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (Mushonnaf 7/103 no 34522) Ibnu Mas’ud berkata, لوددت أن روثة انفلتت عني فنسبت إليها فسميت عبد الله بن روثة وأن الله غفر لي ذنبا واحدا ((Aku berangan-angan ada sebuah tai yang terlepas dariku  maka akupun dinisbatkan kepada tai tersebut maka aku dinamakan Abdullah bin Routsah (tai/kotoran) dan Allah mengampuni bagiku satu dosaku))

Dalam riwayat Al-Baihaqi (Syu’abul Iman 1/504 no 848) Ibnu Mas’ud berkata, والذي لا إله غيره لوددت أني انقلبت روثة وأني دعيت عبد الله بن روثة وأن الله غفر لي ذنبا واحدا ((Demi Yang tidak ada sesembahan (yang berhak untuk disembah) selainNa sesungguhnya aku berangan-angan aku berubah menjadi tai dan aku dipanggil Abdullah bin tai dan Allah mengampuni satu dosaku)) dan beliau juga berkata (Syu’abul Iman 1/504 no 846) وددت أني نسبت إلى روثة وان الله تعالى تقبل مني حسنة واحدة من عملي ((Aku berangan-angan agar aku dinisbatkan kepada tai dan Allah menerima satu amalan kebaikanku))

[17] Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H), من كان بالله أعرف كان منه أخوف  “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah” (Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi tarikh Al-Halab 2/750)

[18] Ar-Robi’ bin Anas berkata, نظرنا في صحابة الأنبياء فما وجدنا نبيا كان له صاحب مثل أبي بكر الصديق “Kami memperhatikan sahabat-sahabat para nabi maka kami tidak mendapatkan seorang nabipun yang memiliki seorang sahabat seperti Abu Bakar” (Tarikh Dimasyq 30/127)

[19] Yang masyhur ini adalah perkataan Umar bin Al-Khotthob sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (Syu’abul Iman 1/69 no 36), Ibnu ‘Asakir (Tarikh Dimasyq 30/126,127), Ishaq bin Rahawaih dalam musnadnya (sebagaimana di nukil oleh Az-Zaila’i dalam kitabnya takhrij Al-Ahadiits wal Atsaar 1/248).

Adapun riwayat yang marfu’ dari Nabi r adalah riwayat yang lemah karena merupakan riwayat Abdullah bin Abdilaziz bin Abi Rowad dari ayahnya. Berkata Abu Hatim dan yang lainnya tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar”. Berkata Ibnul Junaid, “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang dusta” (Lisanul Mizan 3/310). Berkata Ibnu ‘Adi, “Ia meriwayatkan hadits-hadits dari ayahnya yang  tidak ada perawi lain yang memutaba’ahinya” (Al-Kamil fi du’afa’irrijal 4/201). Ibnu Hibban menyebutnya di kitabnya Ats-Tsiqoot dan berkata, “Haditnya bisa jadi mu’atabar jika ia meriwayatkan dari selain ayahnya” (Ats-Tsiqoot 8/347 no 13809)

[20] HR Al-Bukhari 1/286 no 799, 5/2331 no 5967.

[21] Ibnu Mas’ud berkata, بحسب المرء من العلم أن يخاف الله وبحسبه من الجهل أن يعجب بعمله atau dalam riwayat yang lain dengan makna yang sama كفى بخشية الله علما وكفى بالاغترار به جهلا “Cukuplah ilmu bagi seseorang jika ia takut kepada Allah dan cukuplah kebodohan pada dirinya jika ia ujub dengan amalannya” (Musonnaf Ibni Abi Syaibah 7/103, 104)

[22]Berkata An-Nawawi, “Abu Bakar jika dipuji maka beliau berdoa….” (Tahdzibul Asma’ 2/479-480), yaitu doa berikut ini

اللهم أنت أعلم بي من نفسي وأنا أعلم بنفسي منهم اللهم اجعلني خيرا مما يظنون واغفر لي ما لا يعلمون ولا تؤاخذني بما يقولون

Dari Muhammad bin Ziyad dari sebagian salaf bahwasanya mereka berkata tentang seseorang yang dipuji dihadapannya, “Taubatnya dari pujian itu hendaknya ia berkata اللهم لا تؤاخذني بما يقولون واغفر لي ما لا يعلمون واجعلني خيرا مما يظنون “Ya Allah janganlah engkau menghukumu karena pujian mereka, maafkanlah aku karena apa yang mereka tidak ketahui, dan jadikanlah lebih baik dari yang mereka sangka” (Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul iman 4/228 no 4876, lihat Fathul Bari 10/478)

Berkata Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Hajjaj Al-Marwazi, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, ما اكثر الداعين لك “Betapa banyak orang yang mendoakan kebaikan bagimu”, maka kedua matanyapun berkaca-kaca dan berkata, أخاف ان يكون هذا استدراجا أخاف ان يكون هذا استدراجا “Aku takut ini adalah istidroj”, dan ia berkata, “Muhammad bin Waasi’ berkata, “Kalau seandainya dosa itu memiliki bau maka tidak seorangpun dari kalian yang akan duduk denganku”. Imam Ahmad berkata, “Telah mengabarkan kepadamu Yunus bin ‘Ubaid ia berkata, “Aku membesuk Muhammad bin Waasi’ dan ia berkata, وما يغنى عني ما يقول الناس اذا اخذ بيدي ورجلي فأُلْقِيْتُ في النار “Tidak ada manfaat bagiku pujian manusia jika telah dipegang kedua tanganku dan kedua kakiku lalu aku dilemparkan ke neraka”. Aku berkata kepada Abu Abdillah(Imam Ahmad), “Sebagian ahlul hadits mengatakan kepadaku bahwasanya أبو عبد الله لم يزهد في الدراهم وحدها قد زهد في الناس Abu Abdillah tidak hanya zuhud di dirham saja bahkan ia juga zuhud pada manusia”, maka Abu Abdillah berkata, ومن أنا حتى أزهد في الناس الناس يريدون يزهدون في “Siapakah aku hingga aku zuhud kepada orang-orang, orang-oranglah yang zuhud kepadaku”, dan Imam Ahmad berkata, “Mintalah kepada Allah agar menjadikan kita lebih baik dari yang mereka persangkakan dan mengampubi kita atas apa-apa yang mereka tidak ketahui”  (Al-Waro’ li ibni Hanbal 1/152)

Hukum memuji pada dasarnya adalah tidak boleh disebabkan dua hal berikut:

  1. Bisa jadi ia memuji sesuatu yang tidak mungkin ia ketahui (seperti berkata bahwa ia adalah orang yang bertakwa, orang yang ikhlas, orang yang waro’, zuhud…, karena ini menyangkut hati dan tidak ada yang mengetahui isi hati kecuali Allah) oleh karena itu hendaknya orang yang memuji berkata “Aku menyangka demikian”. Berbeda jika ia mengatakan “Aku melihatnya sholat atau berhaji, berzakat” karena hal ini bisa diketahui olehnya namun…
  2. Tinggal kecelakaan bagi orang yang dipuji karena ia tidak aman jika dipuji akan timbul perasaan sombong atau ujub atau iapun jadi lalai karena bertawakal dengan pujian sipemuji tersebut akhirnya iapun malas untuk beramal, karena orang yang terus beramal biasanya adalah orang yang menganggap dirinya kurang.

Namun jika yang dipuji selamat dari hal ini maka tidaklah mengapa, bahkan bisa jadi hukumnya adalah mustahab sebagaimana Nabi r telah memuji Abu Bakar dengan perkataannya, “Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang isbal karena sombong”, demikian juga perkataan Nabi r kepada Umar, ما لقيك الشيطان سالكا فجا الا سلك فجا غير فجك “Tidaklah Syaitan bertemu denganmu tatkala engkau melewati jalan kecuali syaitan akan mencari jalan yang lain”. Demikian juga pujian Nabi r kepada lelaki Anshor yang menjamu tamu Rasulullah r “Allah ta’jub dengan perbuatan kalian berdua”, dan yang lainnya.  Ibnu Uyainah berkata, من عرف نفسه لم يضره المدح “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka pujian tidak akan mencelakakannya” (Disadur dari penjelasan Ibnu Hajar dalam Al-Fath 10/478-479). Namun siapakah yang merasa aman dari ujub jika dipuji sebagaimana Abu Bakar dan Umar???!!!

Sumber: website Ustadz Firanda (firanda.com)


Artikel asli: http://abumushlih.com/seandainya-kalian-tahu-dosa-dosaku.html/